Scroll untuk baca artikel
banner 468x60
Example floating
Example floating
banner 468x60
Nasional

Ketika Negara Mencetak Sertifikat, Tapi Industri Menutup Pintu Kerja ‎

Avatar photo
66
×

Ketika Negara Mencetak Sertifikat, Tapi Industri Menutup Pintu Kerja ‎

Sebarkan artikel ini

‎Batam, AFJNews.Online – Buruh kembali dipaksa menelan pelajaran pahit, kepatuhan terhadap program negara tidak otomatis menjamin masa depan kerja. Sertifikat resmi, pelatihan resmi, dan anggaran resmi semuanya sah secara administratif. Namun ketika berhadapan dengan industri, seluruhnya seolah tak bernilai apa pun. (Rabu,17/12/2025)

‎Inilah ironi paling telanjang dari sistem sertifikasi tenaga kerja hari ini.

‎Melalui Dinas Ketenagakerjaan, pemerintah dengan penuh keyakinan mencetak sertifikat Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan menyerahkannya kepada buruh sebagai “bekal kompetensi.” Namun pada saat yang sama, negara membiarkan dunia industri menolak sertifikat tersebut mentah-mentah, dengan dalih kebutuhan sertifikasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) versi Kementerian Ketenagakerjaan.

‎Artinya terang-benderang, negara memproduksi kompetensi yang tidak laku di pasar kerja yang justru berada dalam ruang kendali dan pengawasannya sendiri.

‎Siapa yang menanggung akibat dari kegagalan ini?
‎Bukan pejabat.
‎Bukan perancang kebijakan.
‎Melainkan buruh.

‎Buruh dipaksa percaya pada sistem yang belum siap. Mereka menghabiskan waktu, tenaga, bahkan harapan untuk mengikuti pelatihan yang sejak awal tidak diselaraskan dengan kebutuhan riil industri. Ini bukan sekadar kesalahan teknis atau miskomunikasi antar lembaga, melainkan kegagalan kebijakan yang sistemik.

‎Lebih mengkhawatirkan, klarifikasi resmi Disnaker justru mempertegas kebuntuan tersebut. Pengakuan bahwa “saat ini perusahaan masih membutuhkan K3 dari Kemenaker” merupakan pengakuan terbuka bahwa negara sepenuhnya sadar sertifikat BNSP belum efektif di lapangan namun tetap memproduksinya secara masif.

‎Kemudian muncul dalih klasik: “tahun depan semua akan beralih ke BNSP.”
‎Kalimat ini bukan solusi.
‎Ini penundaan tanggung jawab.

‎Transisi kebijakan tidak boleh dibayar dengan masa depan buruh. Negara tidak berhak menjadikan pekerja sebagai objek uji coba dari sistem administrasi yang belum matang. Jika sertifikat BNSP memang ditetapkan sebagai satu-satunya standar nasional, maka kewajiban penerimaannya seharusnya dipaksakan kepada industri sejak sekarang bukan ditunda sambil membiarkan buruh terkatung-katung tanpa pekerjaan.

‎Ironi ini kian lengkap ketika buruh tetap diwajibkan memiliki sertifikat BNSP untuk memperoleh lisensi Kemenaker. Artinya, sistem baru bukan menyederhanakan, melainkan justru memperpanjang rantai birokrasi, menambah beban biaya, dan mempersempit akses kerja.

‎Padahal, sertifikasi sejatinya berfungsi melindungi pekerja dari eksploitasi dan ketidakpastian. Yang terjadi justru sebaliknya, buruh dipaksa mengejar lembar demi lembar sertifikat, sementara pintu kerja tetap tertutup rapat.

‎Jika negara tidak segera menyelaraskan regulasi, dunia industri, dan kebutuhan riil lapangan, maka sertifikat hanya akan menjadi ilusi, dan pelatihan tak lebih dari panggung seremonial yang menutupi kegagalan struktural.

‎Buruh tidak membutuhkan janji transisi.
‎Mereka membutuhkan pekerjaan hari ini.

‎Dan selama sistem sertifikasi terus saling bertabrakan, kegagalan ini bukanlah kegagalan buruh melainkan murni kegagalan negara.

banner 468x60
Baca Juga :  Lapas Batam Gelar Tes Urine 100 WBP, Perkuat Program Rehabilitasi Narkoba 2025
Example 120x600